Kamis, 23 Oktober 2014

7 DAYS SOMETHING (part.4)

"Kau lupa padaku?" Ucap khun.
"Aku~ aku~" tanpa alasan yang jelas tubuhku bergemetar, aku berusaha mendapatkan kembali alam sadarku. Namun sesekali pikiranku menggambarkan situasi yang berbeda. Sulit sekali memijakkan kakiku. Seolah ragaku menghilang ke dimensi yang berbeda.
"Ya-ya! Gwenchana?" Nichkhun berusaha menangkap tubuhku yang sedikit lunglai. "Kau tidak pernah seperti ini sebelumnya," aku bisa melihat mata besar itu menatapku dengan penuh rasa cemas.
"Um, nae gwenchana." Aku berusaha bangkit dan berdiri dengan kakiku. Beberapa orang yang hilir mudik memperhatikan kami pagi itu. "Aku hanya lupa sarapan tadi pagi"
"Hah? Sarapan? Kau tidak pernah melupakan sarapan sebelumnya? Bukannya pagi ini kau menyantap jjangmyun?"
"Jangan sok tau! Kau selalu saja betkata seolah mengenalku dalam waktu yang lama. Kita baru kenal tiga hari. Jangan berfikir kau tau segalanya tentangku!" Ucapku dengan nada sedikit tinggi.
"Omo omo. Lihat kau sekarang, sudah kembali normal? Jadi sekarang kau mau kemana? Namsan tower?"
"Bukan urusanmu!"
"Kau mau kemana?" Nichkhun menarik tas ranselku dengan tangan panjangnya.
"Issssh! Lepaskan! Iya! Aku mau ke Namsan! Memangnya kenapa?!"
"Harusnya kau turun di halte berikutnya. Bukan di sini" jelasnya.
Aku melirik sinis ke Nichkhun. Pria ini, siapa dia? Tuhan... siapa dia? Siapa?!

# # #

Dengan mengorbankan segala harga diri, akhirnya sekarang aku tengah menikmati indahnya Kota Seoul dari Menara yg terkenal di Seoul. Benar saja, tempat sesederhana ini saja bisa seromantis ini. Dan tetap ramai di hari kerja seperti ini.
"Kau tidak ingin memasang gembok? Seperti yang dilakukan semua orang" tanya Nichkhun sambil menunjukkan sebuah gembok merah berbentuk hati.
"Tidak. Jangan mengada ada. Jelas jelas gembok itu hanya untuk pasangan! Kau jangan pernah mengharap lebih ya, kalau kau pikir, aku akan menulis namaku dan namamu di gembok itu" bentak ku.
"Kau kenapa? Responmu aneh"
"Aneh? Aneh kenapa? Aku memang seperti ini"
"Ah~ araseo. Aku tau hot spot di Namsan Tower, kau mau melihatnya?"
"Dimana?" Aku mengekor di belakang Nichkhun.
"Ini dia, indah kan?"
Aku termangun, benar saja, Nichkhun ini seolah tahu segalanya. Aku suka sekali pemandangan dari sisi ini. Semuanya nampak jelas. "Mana gembok yang tadi kau tunjukkan?"
Nichkhun meringis dan tertawa jahil. "Ini, kau mau memasangnya?"
"Aku akan menulisnya seperti ini... Victoria Love Seoul".
"Pasang sebelah sini saja. Masih ada ruang"
Aku memasang di tempat yang ditunjukkan Nichkhun. Aku melihat ada gembok yang sama di sekitarnya,
"Ya! Pasang saja gemboknya! Kau tidak boleh melihat tulisan di gembok lainnya. Ada larangan tak tertulis di Namsan Tower ini"
"Benarkah? Kau yakin? Aku hanya ingin melihat siapa pemilik gembok yg sama persis dengan punyaku"
"Tidak perlu, sekarang kita keluar dari sini. Aku lapar"

# # #

"Ya, Nichkhun ssi~ kau tau ada yang aneh dengan dirimu" ucapku setelah menegak soju.
"Naega? Ue?"
"Kau. Kau selalu tahu apa yang ingin aku lakukan. Apa yang aku suka. Kau.... tahu"
Nichkhun tersenyum, "apa yang aneh dengan hal itu?"
"Kita baru saling mengenal tiga hari. Bagaimana kau bisa paham akan diriku seolah kau mengenal ku sudah bertahun tahun?"
"Seolah? Kalau nyatanya memang iya? Eotoke?"
"Ya! Kau mabuk! Aku baru melihatmu di pesawat tiga hari lalu! Jadi... tidak mungkin kita saling kenal sebelumnya".
"Aku ini dari Indonesia dan kau dari entah dari korea atau indonesia atau belahan dunia mana, kita tidak pernah kenal" Nichkhun mengucapkan semua kalimat yang ingin aku ucapkan. Bagaimana dia mengetahuinya aku ingin mengatakan kalimat itu.
Aku yang semula sudah menyerahkan kepalaku ke meja hidang, sekarang kembali duduk tegap berusaha mendapatkan kesadaranku. Ada yang salah. Ada sesuatu yang salah. Tapi mengapa aku tidak menemukan titiknya? Ada hal yang ganjil di pikiranku. Siapa yang aneh? Aku atau Nichkhun.
"Khun, apa aku pernah melakukan ini semua sebelumnya? Mengapa belakangan de javu terus muncul~~~?" Aku terlalu lelah untuk mendengarkan jawaban Khunnie, Khun? Aku memanggilnya Khun? Mengapa nama itu terucap begitu saja? Mengapa mengucap nama itu terasa lebih nyaman?
Aku hanya bisa melihat mulut Khun bergerak, namun aku tak bisa mendengar satu kata pun yang dia ucapkan. Khun, tolong aku. Aku lelah.

-to be continued-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar